Meneropong Industri BPR-BPRS: Beban Berat Kedepan

Oleh : D.Wijaya
Perjalanan industri Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dalam enam tahun terakhir nampak dalam rasio rasio keuangan berikut ini. Rasio Non Performing Loan (NPL) BPR maupun BPRS (NPF) trendnya mengalami peningkatan. Tren peningkatan NPL juga terkonfirmasi dari dua rasio berikut: ROA menurun dan BOPO meningkat.
Rasio ROA (Return On Asset) BPR 2019 lalu sebesar 2,23% menurun menjadi 1,23% di Nop 2024; periode yang sama ROA BPRS dari 2,6% turun ke 1,2%. Sementara itu, rasio yang menggambarkan efesiensi yaitu BOPO (Biaya Operasional pendapatan Operasional) dalam kurun waktu enam tahun terakhir mengalami peningkatan dari 81,97% menjadi 87,98% (Nop 24), rasio BOPO BPRS meningkat dari 84,53 (2019) menjadi 91,62% di Nop 2024.
Meningkatnya rasio BOPO, menurunnya rasio ROA dan trend rasio NPL menjauhi ambang batas (5%), disinyalir sebagai akibat dari pandemi covid19, dampaknya masih dirasakan hingga kini.
Ditengah upaya industri dan entitas BPR-BPRS memperbaiki kinerja keuangannya, pada awal 2024 lalu terbit regulasi yang memberatkan entitas. Peraturan Otoritas jasa Keuangan (POJK) Nomor 1 Tahun 2024 tanggal 10 januari 2024 Tentang Kualitas Aset BPR, dinilai memberatkan industri ditengah kondisi ekonomi yang belum benar benar pulih.
Dengan lahirnya POJK 1/2024 tentang Tentang Kualitas Aset BPR pada Bab III diatur mengenai Penyisihan Penilaian Kualitas Aset (PPKA) dan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN). PPKA adalah penyisihan yang wajib dihitung sebesar persentase tertentu berdasarkan kualitas Aset. Sementara CKPN wajib dibentuk dikarenakan adanya penurunan nilai sesuai standar akuntansi keuangan (SAK) Entitas Privat.
Perhitungan PPKA yang fokusnya pada kewajiban BPR mengamankan permodalannya, dan kewajiban pembentukan CKPN dalam kondisi NPL tinggi, (loan at risk apalagi) sebagai akibat restrukturisasi pada masa pandemi lalu, ditambah lagi lesunya perekonomian, belum cukup waktu untuk melakukan perbaikan kinerja keuangan BPR, yang akhirnya semua ini menjadi “beban” berat bagi BPR kedepan.
Data menunjukkan, skala ekonomis (asset) masih banyak yang kecil-kecil. Di Indonesia sendiri hingga akhir Nop 2024 terdapat 1,367 BPR-BPRS, dan 46.13 % (631 BPR) diantaranya memilik asset kurang dari Rp50 Milyar, bahkan ada 76 BPR yang assetnya dibawah Rp.10 milyar. Di Provinsi Bali sendiri (data Des 24) menyebutkan ada 44 BPR atau 34,37% memiliki asset kurang dari Rp50 Milyar.
Penolakan (baca keberatan) BPR dan BPRS ditunjukkan dengan pengajuan surat dari asosiasi BPR BPRS (Perbarindo Pusat) secara serentak kepada Otoritas untuk menunda pemberlakuan CKPN hingga tiga tahun kedepan. Namun sayang, permohonan penundaan tidak disetujui. Belum selesai perbaikan kinerja akibat dampak pandemi covid-19, kemudian ditambah lagi kewajiban PPKA dan CKPN yang akan menambah beban berat kinerja BPR BPRS kedepan. Selamat berjuang dan tetap semangat./D.Wijaya